Jumat, 18 April 2014

Menimbang Untung Rugi UU Minerba

hukumpertambangan.com
UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batubara bara memang menjadi sorotan serius belakangan ini. Undang-Undang yang mengatur tentang larangan ekspor barang tambang mentah ini pun menuai pro dan kontra dari bernagai pihak, mulai dari pihak pengusaha tambang hinga pihak importir. Masalah yang terjadi adalah mulai tanggal 12 januari 2014 perusahaan tambang dilarang untuk mengekspor barang tambang dalam bentuk mentah, melainkan harus diolah dulu untuk mengekstraksi dan memurnikan menjadi logam atau paduan logam.
Beberapa pihak sempat berkomentar bahwa negara berpontensi mengalami kerugian lebih dari 40 Triliyun apabila UU Minerba ini tetap diterapkan, dan bahkan beberapa perusahaan terancam tutup akibat UU ini. Permasalahan yang terjadi pada indrutri pertambangan adalah begitu banyak perusahan tambang di Indonesia yang tidak memiliki smelter sehingga terpaksa mengekspor hasil tambang dalam bentuk bijih mentah. Harga smelter yang cukup mahal, mencapai 500 milyar bahkan ada yang sampai seharga 1 triliyur lebih, membuat beberapa perusahaan tambang kembali berpikir ulang untuk membeli smelter. Dampak ini sangat dirasakan oleh perusahan tambang yang beroperasi dalam skala kecil, mereka kebingungan dalam mengolah hasil tambangnya.
Benarkah negara berpotensi mengalami kerugian senilai lebih dari 40 triluyun tersebut. Mungkin secara hitungan matematika dan analisis ekonomi memang hal ini ada benarnya. Tapi sampai kapan negara dalam hal ini perusahaan tambang akan menjual hasil tambang mentah keluar negeri?. Jika dihitung kembali dengan teliti negara akan sangat rugi apabila apabila terus-terusan menjual hasil tambang mentah ke luar negeri. Karena jika hasil tambang mentah itu diolah di dalam negeri harganya bisa mencapai 600 kali lipat dari harga mentahnya. Memang untuk saat ini hal tersebut sangat sulit mengingat masih banyak perusahan tambang yang tidak memiliki smelter dan tidak tau harus berbuat apa tentang bahan tambangnya akibat kebijakan ini. Tetapi itulah yang menjadi tantangan tersendiri bagi pengusaha tambang di Indonesia.
Sebagai contoh perusahan tambang mengekspor bauksit ke luar negeri, tetapi kemudian kembali mengekspor alumina untuk kemudian diolah menjadi alumunium. Padahal jika bauksit tidak diekspor keluar negeri perusahan-perusahan metalurgi yang mengolah alumunium tidak harus merogoh kocek yang terlalu dalam untuk memperoleh alumina.
Selain itu negara juga bisa mengalami kerugian karena bahan galian yang diekspor tersebut tidak hanya mengandung satu jenis logam tertentu. Sebut saja tembaga, dalam bijih tembaga tersebut bisa jadi terdapat kandungan emas ataupun uranium, walaupun kadarnya sangat kecil tapi bisa bernilai ekonomis jika bijih yang diekspor dalam skala besar.
Akan tetapi apapun yang terjadi dan menjadi polemik saat ini masyarakat tentu mengaharapkan bangsa ini bisa mengolah sumber daya yang dikandungnya sendiri tanpa harus menjual 'tanah air' kita kepada bangsa asing. Selain itu harapannya dengan adanya undang undang ini bangsa kita semakin mandiri dan dapat membuka kembali lapangan kerja yang seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat. [FSN]

0 komentar:

Posting Komentar